Antara Malam dan Hujan

Kemarin senja hujan membasahi kota terbesar kedua di pulau Sumatera ini. Meski tak lama, ia berhasil membuat saya terpaksa berteduh di gerbang sekolah dasar, dan sukses membuat motor yang saya cuci pagi tadi kembali kotor. Akan tetapi saya tetap bersyukur, karena saat kabut asap menyelimuti kota, rinai memang dinanti-nanti kehadirannya. Baca lebih lanjut

Perjalanan Tetap Masih Panjang

Siapa sangka tulisan sebelumnya ada sekuelnya. Ini mengejutkan, meskipun tidak dibilang kabar baik. Siapa kira pula tulisan ini dirangkai persis satu jam setelah tulisan sebelumnya dipublikasi. Walaupun sekuel ini ditampilkan keesokan hari. Masih dalam senja yang sama, tentang seorang pemuda yang lurus hatinya. Aku begitu mengenalnya. Baca lebih lanjut

Besok

Besok, bisa jadi kita akan menyesali hal yang pernah kita lakukan di waktu silam.
Menyayangkan suatu keputusan yang ternyata berujung begitu menyakitkan.

Besok, bisa jadi kita sungguh mensyukuri banyak hal yang pernah kita berikan.
Tersenyum manis atas pemberian kecil yang begitu menyenangkan banyak orang. Baca lebih lanjut

Wanderer Returns

Akhirnya, sekaleng susu beruang (aslinya sih susu sapi) tadi petang membuat fisik kembali bugar setelah hari ini mengajar sampai Zuhur plus berbagi di depan para mahasiswa/i sembari menyimak setoran hafalan mereka. Entah angin apa yang membuat saya malam ini kudu me-resurrection blog gaje yang telah setahun lebih mati suri ini. Hm, apa karena tadi di masjid saya menemui pak RT untuk minta izin mengadakan belajar bersama malam-malam di rumah? Entahlah.. Baca lebih lanjut

Bukan Aku

(1) kini, aku mengerti, tidak, bahkan aku memahami, tidak, bahkan turut merasakan, tidak! sejatinya aku hanya terjebak oleh anganku sendiri
(2) yang bahkan aku tak tahu apakah itu benar, padahal kawan, aku bukanlah engkau di dalam kata-kata itu, sungguh itulah realitanya, pahit
(3) padahal kawan, aku bukanlah dia yang berada di dalam penggalan kalimat yang dahulu kurasa aku paham benar maksudnya, getir, bukan?
(4) hei, mungkin saja, aku tanda seru itu, tanda tanya itu, titik-koma itu, atau kata yang telah terhapus, heh, hapus? mungkin saja, bukan?
(5) aku mulai menabur benih ketidakpercayaan itu, kekecewaan itu, kepadamu, puisiku, kepadamu, sajak dan baitku, meskipun kamu adalah satu
(6) biarkan tertutup buku harian, biarkan pena terlepas dari genggaman, biarkan, tak usah ada tanya, karena sang pujangga telah tiada
(7) biarkan Dia menyaksikan, kata-kata itu kusimpan di relung hati terdalam, Dia mendengar, meski hanya seisak lirih tangis yang teruntai
(8) biarkan aku sampaikan, tentang kisah penuh perjuangan, tentang cerita penuh pengorbanan, berdua bersama-Mu, Rahman, di penghujung malam
(9) bukan tentang kenangan, atau buku-buku usang, tapi tentang angan yang seseorang berikan, bukan, tapi aku sendirilah yang menciptakan
(10) bukan tentang media sosial, bukan pula tentang kuliah kemarin petang, tapi ini tentang perasaan, rindu kepada-Mu yang tiada tertahankan
= = = = =
sekian, jadi ceritanya sedang belajar bikin puisi melankolis, terinspirasi dari kucing dan ikan amis, hasilnya gagal abis

*) dikutip dari twitter 13 maret 2013

sekali-kali, posting yang gaje gini 😐

 

080413

saat malam gelap-tak gempita

Ibu

Ibu. Jika aku menulis sebuah buku tentang ibuku, maka karya itu bisa mengalahkan tebalnya buku-buku Harry Potter yang tersohor itu. Ibu. Jika aku berbicara tentang ibuku, maka itu akan menjadi pidato terpanjang mengalahkan pidato Bung Karno di masa lalu.

Suatu ketika, ibu, selaku wali kelas X2 (saat itu aku kelas XII IPA 3) berpidato saat upacara bendera yang rutin dilakukan tiap hari senin. Ibuku yang dikenal pendiam itu (tidak seperti guru-guru lain yang suka bergunjing ria) berhasil memukau peserta upacara dengan wejangan yang menentramkan, nasehat yang menyejukkan, dan petuah yang mengorbankan api semangat. Baca lebih lanjut